PULAU SUMBA TANAH MARAPU, Auaraindoneaia1 - Ah, setiap hari entah mengapa selalu saja berjalan, terlewatkan, terlupakan tanpa sesuatu hal yang terlalu mengesankan. Banyak kisah klasik tumbuh dan berkembang, namun kini entah mengapa kian hilang terdengar diperbincangkan.
Barangkali, begini rasanya menjadi bagian dari sebuah negeri yang telah tergadaikan. Ingin rasanya menggambarkannya dalam sebuah cerita fabel yang menyenangkan. Namun, cerita fabel tak bisa menjadi alasan utama agar masalah rumit yang diperjual belikan di negeri tergadaikan itu menjadi benar-benar menyenangkan.
Negeri tergadaikan itu, adalah negeri dimana sebuah masalah didatangkan dan solusi diperjualbelikan. Negeri tergadaikan itu, adalah negeri para burung tak lagi optimis untuk terbang diatas lautan menangkap ikan ketika tahu mereka tak bisa berenang, tempat para gajah merasa kecil padahal seharusnya ia jumawa dengan fisik kekarnya, tempat para semut bersembunyi dalam sarang enggan keluar untuk menyapa sesama, dan tempat para makhluk lain yang mulai jenuh hidup dalam keterbatasan.
Tentu saja tak ada asap bila tak ada api. Tak akan ada masalah bila tak ada penyebabnya. Sedikit ingin aku ceritakan mengenai masa lalu negeri tergadaikan itu. Ia pernah mengalami masa jaya, tepat dimana tonggak kuasa masih peduli dan sadar akan mahal dan berharganya tanah dan lautan yang dianugerahi Tuhan sebagai pemikat negeri itu.
Tepat sebelum negeri itu dipimpin oleh seorang undur-undur dan teman-temannya. Bukan tanpa perubahan, tentu saja undur-undur dapat membuat banyak sekali jalan, yang katanya agar lebih mudah makhluk hutan beraktivitas melakukan berbagai kegiatan. Tapi, undur-undur lupa bahwa membuka jalan tak bisa sekedar ditempuh dengan abrakadbra langsung jadi.
Terlalu berambisi, akhirnya semut yang rumahnya menjadi korban beralih mengungsi. Semut yang malang, rumahnya hilang ketenangannya tergadai. Keluarga dan teman semut bukan tidak melawan untuk dapat merelakan, tapi antek-antek undur-undur terlalu ganas. Ia memiliki algojo yang siap kapan saja untuk dapat menghilangkan nyawa keluarga semut. Karena hal itu, semut pergi, bersembunyi, enggan lagi menampakkan diri.
Jalan besar telah selesai dibangun, undur-undur kepalang bingung hal apa lagi yang hendak digadaikan? Perhatiannya beralih ke lautan. Disana ada ikan, kerang, dan berbagai macam binatang laut yang jumlah dan harganya bukan kepalang bila dijual. Tapi, ia sadar di lautan banyak sekali burung beterbangan menangkapi ikan.
Tentu saja undur-undur geram, berani-beraninya ada yang mengusik aset berharganya. Karena berpikir bahwa menjadi pemimpin negeri antah berantah itu memerlukan dukungan dari penghuni negeri, maka pikiran liciknya keluar. Ia mengesampingkan niat untuk menegur burung, lebih baik bila orang lain saja. Undur-undur terlalu takut untuk menggadaikan citra buruk di hadapan rakyatnya. Akhirnya, antek pertama undur-undur turun tangan.
"Hei kalian burung-burung, mengapa kalian bertebangan diatas lautan menangkapi ikan padahal di darat masih banyak sekali makanan?" tanya antek undur-undur.
"Oh halo pak antek, ikan di lautan rasanya lebih lezat pak. Apalagi, makanan di darat biar menjadi bagian hewan lain yang kelaparan pak," ujar para burung
"Tidak bisa begitu, mulai saat ini kali ini kalian jangan lagi menangkap dan memangsa ikan disini," pak antek bersikukuh.
(PENULIS Fabianus Mone pati)