Oleh Ass. Prof. Dr. Dwi Seno Wijanarko, S.H., M.H., CPCLE
Jakarta - suaraindonesia1, Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi. Sistem demokrasi identik dengan kebebasan untuk menyuarakan pendapat, termasuk kebebasan bagi pihak pers, namun bukan berarti pers bisa semena- mena dalam hal penyampaian informasi. “Tetapi kebebasan pers lebih mengarah pada kebebasan pers yang disertai dengan tanggung jawab sosial," kata Dr. Seno, Minggu (19/9/2021).
Informasi atau berita yang dikeluarkan oleh pers dikonsumsi langsung oleh publik dan dapat memengaruhi pemikiran publik secara langsung. Oleh sebab itu, pers harus bertanggung jawab terhadap publik terkait pemberitaan yang telah dikeluarkan dan selain itu, pers yang bebas adalah pers yang tidak melanggar ketentuan hak asasi manusia.
Menurut Dr.Seno dengan adanya "Asas lex specialis derogat legi generalis " aturan khusus mengesampingkan aturan yang umum. Menjelaskan bahwa peraturan perundang- undangan yang bersifat khusus mengesampingkan peraturan perundang- undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis).
Aturan khusus mengesampingkan aturan umum, asas ini hanya berlaku terhadap dua peraturan yang bertentangan tetapi secara hierarki sederajat. Untuk memahami asas itu dalam konteks bermedia adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyatakan bahwa UU Pers dikategorikan sebagai lex specialis.
Secara sederhana Lex Specialis berarti aturan yang bersifat khusus (specialis) mengesampingkan aturan yang bersifat umum (generali) maka aturan yang bersifat umum itu tidak lagi sebagai hukum ketika telah ada aturan yang bersifat khusus.
Founder LawFirm DSW & Partner, Asst. Prof. Dr. Dwi Seno Wijanarko, S.H.,M.H.,CPCLE menerangkan UU Pers adalah Lex Specialis (hukum yang lebih khusus) terhadap Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan juga terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dengan kata lain, aturan yang khusus itulah sebagai hukum yang valid, dan mempunyai kekuatan mengikat untuk diterapkan terhadap peristiwa- peristiwa konkrit dalam kegiatan pers. Dalam hal ini, jika ada permasalahan terkait dengan kegiatan Pers, maka langsung merujuk pada UU Pers.
"Jika persoalan dalam kasus yang bermasalah tersebut tidak terdapat dalam UU Pers, baru mengambil peraturan dari KUHP atau KUHPEr. Alasan mengapa UU Pers adalah lex specialis adalah sangat jelas karena kegiatan pers itu berbeda dengan kegiatan yang lain seperti perniagaan, agraria, dan kegiatan lainnya,” lanjutnya.
UU Pers memiliki institusi yang berbeda sehingga mendapat perlakuan yang berbeda. Profesi jurnalis adalah profesi yang berbeda daripada yang lain. “Profesi ini seharusnya dilindungi hukum yang khusus dan jelas. Sebagai indikator negara demokrasi, pers memang seharusnya mendapat perlakukan khusus," ujarnya.
Adapun kasus-kasus yang biasanya terjadi dalam kegiatan pers juga berbeda dengan permasalahan lain yang diatur oleh hukum berdasarkan KUHP atau KUHPer.
Namun demikian persoalan dalam kegiatan pers memiliki signifikansi tersendiri sehingga harus dikhususkan dan diatur dalam UU yang nyata. Sehingga, tidak ada dualisme regulasi dan antisipasi yang tumpang tindih.
Misalnya saja, jika ada pelanggaran kode etik jurnalistik ataupun pelanggaran hukum seorang wartawan serta pengaduan artikel berita, hukum di dalam kegiatan pers berkata lain. Jika pelanggaran hukum di bidang lain, larinya ke kepolisian, pelanggaran hukum dalam kegiatan pers seharusnya diadukan ke Dewan Pers terlebih dahulu .
Dalam hal ini, Regulasi dan Regulator Pers pun memiliki institusi yang khusus sehingga tidak dapat disamaratakan. Lahirnya UU Pers sebetulnya adalah indikasi bahwa KUHP belum dapat menyelesaikan segala bentuk permasalahan. Munculnya UU Pers sendiri dikhususkan untuk berbagai bentuk kegiatan jurnalisme.
“Urusan pers seperti seperti kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, menulis dan mempublikasikan informasi sampai pada mekanisme pasca terbitnya artikel/ informasi terkait diatur secara khusus oleh Pers. Jadi, jika terdapat kasus yang menimpa jurnalis atau suatu institusi media, UU Pers diberlakukan sebagai landasan Hukum," tuturnya.
KUHP hanya pelengkap jika persoalan yang terjadi tidak diatur dalam UU Pers. "Namun faktanya di Indonesia sendiri terdapat beberapa kasus yang bertentangan dengan asas tersebut. UU Pers terkadang dianggap sebagai lex specialis yang mandul. Disebut mandul, karena beberapa kasus delik pers ditangani secara lex generalis. Padahal, sudah jelas bahwa kegiatan pers diatur oleh undang-undang khusus yaitu UU Pers," pungkasnya.
Redaksi.