Nasional-Suaraindonesia1,
Akuntansi Syariah memiliki suatu peran yang sangat penting dalam berlangsungan ilmu akuntansi yang terdapat di Indonesia yang meruapakan masyarakat Indonesia mayoritas beragama muslim. Standar akuntansi keuangan Syariah sudah dirancang oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan telah sesuai dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai sebuah aturan yang baku dalam mengatur pengoperasiannya.
Untuk saat ini perkembangan ekonomi syariah di Indonesia memiliki kemajuan yang cukup pesat. Sehingga ekonomi syariah menunjukan perkembangan berupa tataran wacana yang bersifat teoritik sampai normative, serta tataran yang lebih praktis sampai dengan aplikatif. Oleh karena itu, pada tataran wacana banyak dijumpai pemikirian ekonomi Syariah.
Salah satu contohnya adalah penerapan pembiayaan Mudharabah. Mudharabah merupakan sebuah akad kerjasama antara bank selaku pemilik dana (shahibulmaal) dengan nasabah selaku (mudharib) yang mempunyai keahlian atau ketrampilan mengelola suatu usaha yang produktif dan halal. Hasil dari keutungan dari penggunaan dana yang dibagi Bersama berdasarkan nisbah yang disepakati.
Akad mudharabah yang digunakan oleh pihak bank, digunakan untuk memfasilitasi kebutuhan permodalan bagi nasabah dalam menjalankan usaha atau sebuah proyek dengan melakukan pernyertaan modal usaha atau proyek yang bersangkutan. Sehingga hal ini akan menguntungkan untuk pemberi modal serta peminjam modal.
Pada pertanggungjawaban mudharabah, jika sebuah usaha mengalami kerugian. Maka pihak bank yang menanggungnya. Sementara dengan pertanggung jawaban mudharabah adalah penerimaan sebuah modal yang diminta pertanggungjawaban jika kerugian yang terjadi karena kurang kompetennya atau faktor ketelelodan yang disebabkan oleh penerima modal.
Bagi hasil keutungan mudharabah adalah nisbah yang disepakati di awal akad. Sehingga pembagiab mudharabah merupakan metode bagi untung dan rugi dalam metode bagi pendapatan. Dalam pembiayaan mudharabah, pihak bank berpeluang mendapatkan bagi hasil secara terus menerus selama usaha masih berjalan. Besarnya keutungan mudharabah merupakan bagi atas dasar kesepakatan yang telah ditetapkan dalam kontrak awal.
Dalam PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan ), akad mudharabah diklasifikasi dalam 3 jenis. Yang pertama mudharabah muthlaqah yang menjelaskan tekait pemilik modal dalam memberikan kebebasan terhadap pengelola modal dalam pengelolaan investasi-nya. Mudharabah jenis ini juga dapat disebut juga dengan investasi tidak terikat.
Yang kedua mudharabah muqayyadah yang merupakan mudharabah yang dimana pemilik modal dapat memberikan Batasan pengelola modal dalam hal modal, cara atau objek investasi atau sektor bisnis. Dalam hal ini, jika sebuah pengelola modal bertindak tidaks esuai dengan syarat yang diberikan pemilik modal. Maka, pengelola harus bertanggungjawab terhadap akibat yang terjadi yang dapat berupa konsekuensi keuangan.
Yang ketiga adalah mudharabah musytarakah, pada jenis mudharabah ini memiliki penjelasan terkait mudharabah yang dimana dalam pengelolaan modal menyertakan modal dalam bentuk kerjasama investasi. Pada awal kerjasama, akad yang akan disepakati adalah akad dengan modal 100% dari pemilik sebuah modal.
Konsep mudharabah dalam fiqh memiliki ketentuan yang ditetapkan dalam fiqgh yang berkaitan dengan system mudharabah, diantarannya adalah sebagai berikut :
Modal
Modal dalam wacana fiqh diistilahkan dengan “ra’sul maal”. Para ulama men-syaratkan bahwa modal itu harus memenuhi persyaratan :
Terdiri dari mata uang yang beredar atau berlaku. Untuk persyaratan ini diajukan dalam menghindari perselisihan yang dapat ditimbulkan dikemudian hari. Sehingga hal ini tidak sah dalam memudharabah-kan harta dalam bentuk piutang, karena dalam mengukur keutungan darinya, dan dapat menimbulkan perselisihan dalam pembagikan keuntungan.
Modal harus diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha. Modal haris diserah-kan seluruhnya pada saat ikatan kontrak.
Modal harus jelas jumlah dan jenisnya.
Jaminan
Esensi kontrak mudharabah adalah terjadinya kerjasama dan saling tolong menolong antara pemilik modal dengan orang yang memiliki keahlian dan ketrampilan.
Jangka waktu
Mengenai pemabatasan waktu mudharabah diperdebatkan oleh para ahli fiqh. Sebagian ulama berpendapat bahwa dengan adanya Batasan waktu berlakunya kontrak akan menjadikan koktrak itu batal, sebab hal tersebut dapat menghilangkan kesempatan pengusaha untuk mengembangkan usahanya, sehingga keutungan dapat maksimal dari beberapa kegiatan yang sulit tercapai.
Lembaga keuangan syariah menerapkan sistem bagi hasil sebagai landasan operasionalnya dengan mekanisme pen-dapatan bagi hasil berlaku untuk produk-produk penyertaan, baik penyertaan menyeluruh maupun sebagian sebagai bentuk bisinis koorporasi (kerjasama). Pihak-pihak yang terlibat dalam ke-pentingan bisnis, harus melakukan transparansi dan kemitraan secara baik dan ideal. Sebab semua pengeluaran dan pemasukan rutin yang berkaitan dengan bisnis penyertaan, bukan untuk kepentingan pribadi yang menjalankan proyek. Itulah sebabnya, sebagian besar pembiayaan bisnis dalam suatu per-ekonomian Islam akan berbentuk penyertaan modal di mana penyedia dana (financier/finance provider) akan berbagi hasil rugi atau untung dari aktivitas bisnis yang dibiayainya. Pembiayaan demikian tidak saja akan mendistribusikan ke-untungan pada investasi total antara penyedia dana dan pelaku bisnis (enterpreneur/ finance user) secara adil, tetapi juga akan mentransfer saham risiko investasi yang fair kepada penyedia dana dan bukan meletakkan keseluruhan beban pada pundak pelaku bisnis.
Adapun bentuk-bentuk usaha mudharabah pada bank syari’ah berupa :
Pada Bank Umum Berdasarkan Prinsip-prinsip Syari’ah :
Menghimpun dana dari masyarakat berupa simpanan dalam bentuk tabungan, deposito, atau bentuk lainnya yang berbentuk mudharabah.
Melakukan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan usaha
Melakukan kegiatan usaha lain yang lazim bagi bank sepanjang disetujui oleh Dewan Syari’ah Nasional
Bank Prekreditas Rakyat (BPR)
Berdasarkan Prinsip Syari’ah :
Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk tabungan atau deposito atau bentuk lain yang menggunakan bentuk mudharabah.
Melakukan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan bagi hasil.
Melakukan kegiatan atau usaha lain yang lazim bgi BPR sepanjang disetujui oleh Dewan Syari’ah Nasional.
Ciri akad mudharabah adalah menuntut adanya saling kepercayaan antara nasabah dengan bank, sehingga pembiayaan dengan skim mudharabah dianggap sebagai pembiayaan yang berisiko tinggi, karena bank akan menghadapi permasalahan asymmetric information, dimana pihak pengelola (mudharib) mengetahui informasi-nformasi yang tidak diketahui oleh bank. Pada saat yang sama juga timbul moral hazard dari pihak mudharib, yaitu pihak mudharib akan melakukan hal-hal yang hanya menguntungkan mudharib dan merugikan shahib al-mal. (bank syariah).
Untuk itu, tugas mudharib dalam menjalankan usaha meliputi pengelolaan, penyimpanan, dan pemasaran, sehingga mudharib harus memanajerial dengan baik dan teliti atas modal yang dipercayakan kepadanya.11 Mudharib menjamin dalam mengelola barang tersebut sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati dalam pembiayaan mudharabah. Ia bertanggung-jawab untuk menanggung segala kerugian yang disebabkan oleh kesalahannya sendiri yang menyimpang dari prosedur penentuan kontrak. Pihak bank tidak menanggung kerugian yang disebakan oleh kesalahan pihak mudharib. Singkatnya, mudharib harus tunduk terhadap segala persyaratan yang telah ditentukan dalam kontrak yang berkaitan dengan pengelolaan usaha. Pelaksanaan tersebut umumnya diawasi oleh pihak bank.
Kontrak mudharabah yang tidak menghasilkan keuntungan, maka pihak mudharib tidak mendapatkan upah dari pekerjaannya. Dan pihak bank menanggung kerugian tersebut sepanjang tidak terbukti bahwa mudharib tidak menyelewengkan dana dan bukan karena kesalahan dalam memanejerial. Namun jika terbukti akibat kecerobohan dari pihak mudharib, maka ia harus menanggung kerugian itu. Dalam kasus tersebut, barang jaminan yang dijadikan sarana pertanggungjawaban harus diberikan kepada bank.
Nisbah keuntungan antara shahi-bul maal dengan mudharib ditentukan dengan prosentase bukan dengan nilai nominal suatu mata uang. Nisbah itu ditentukan berdasarkan kesepakatan sebelum akad dan setelah melalui proses negosiasi dan tawar menawar. Nisbah inilah yang menajdi indikator dalam penentuan pembagian ke-untungan untuk masing-masing pihak yang berkontrak. Akan tetapi apabilah usaha yang dijalankan dengan kontrak mudharabah mengalami kerugian, maka pembagian kerugian didasarkan atas porsi modal masing-masing. Karena shahibul maal menanggung modal sepenuhnya, maka secara otomatis akan kehilangan modal, sedangkan mudharib memberikan porsi tenaga, waktu, dan fikiran, maka secara otomatis akan mengalami kerugian pada hal tersebut. Adanya perbedaan dalam mengukur pembagian keuntungan dan kerugian, disebabkan karena adanya perbedaan kemampuan untuk menanggung kerugian diantara kedua belah pihak
Kenyataan menunjukkan bahwa proses tawar menawar dan negosiasi pembagian nisbah hanya dilakukan terhadap deposan/investor dengan jumlah dana besar, karena mereka memiliki daya tawar yang relatif tinggi, sehingga dapat diberikan spesial nisbah. Sedangkan terhadap deposan kecil, biasanya tawar-menawar tidak terjadi, akan tetapi pihak bank yang menawarkan nisbah yang telah jadi, sehingga deposan boleh setuju atau tidak.
Sedangkan penerapan akad mudharabah pada perbankan memakai modus indirect financing, dalam hal ini bank akan bertindak sebagai pihak ketiga yang menjadi sebagai intermediary antara shahibul maal dengan mudharib. Proses kerjanya, yaitu bank menerima dana-dana dari pihak deposan (shahibul maal) sebagai sumber dana. Dana-dana tersebut dikemas dalam bentuk tabungan dan deposito dengan jangka waktu yang bervariasi. Selanjutnya dana-dana tersebut disalurkan kembali kepada mudharib dalam bentuk pembiayaan yang menghasilkan (earning assets). Keuntungan dari pemanfaatan penyaluran dana inilah yang akan dibagi hasilkan antara bank dengan shahibul maal.
Ada beberapa alasan mengapa bank tidak menerapkan bentuk mudharabah dengan modus direct financing atau pembiayaan langsung:
1. Sistem kerja pada bank adalah investasi berjamaah, dimana mereka tidak saling mengenal, jadi kecil kemungkinan terjadi hubungan langsung dan personal.
2. Investasi di era modern sekarang ini membutuhkan dana dalam jumlah besar, sehingga diperlukan puluhan bahkan ratusan shahibul maal untuk menjadi penyandang dana.
3. Lemahnya pengamalan akan ajaran agama, khususnya yang berkaitan dengan kejujuran, sehingga bank sulit menjamin dana yang disalurkan aman dan tanpa resiko
Disusun :Anita Dwi Ratna Della (2018-462)
Program Studi :Akuntansi
Fakultas :Ekonomi dan Bisnis
Universitas Muhammadiyah Malang