Jakarta - Suaraindonesia1 - Dewan Perwakilan Rakyat beberapa waktu lalu setujui puluhan Rancangan Undang-undang (RUU) masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 dalam rapat paripurna, Selasa (23/3/2021) lalu.
Salah satu isu yang ramai dan menjadi polemik adalah, draf Rancangan Undang-Undang mengenai penghapusan hak elektoral bagi eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI). Masyarakat banyak yang mendukung rencana tersebut karena sudah sesuai dengan konstitusi.
Draf RUU tentang perubahan atas UU nomor 7/2017 tentang pemilu dan UU nomor 10/2016 tentang Pilkada (RUU Pemilu) menghapus hak elektoral untuk memilih maupun dipilih bagi eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI), menjadi polemik dan ramai diperdebatkan baik oleh tokoh politik, politisi sampai masyarakat umum.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Saan Mustopa menegaskan bahwa, apa yang diatur dalam draf RUU Pemilu telah sesuai dengan konstitusi dan sifatnya normatif. Siapa saja yang tidak mengakui Pancasila sebagai ideologi dasar negara, tidak memiliki hak untuk dipilih sebagai perwakilan legislatif ataupun eksekutif.
Menurut Saan, dirinya menilai bahwa secara normatif, semua warga negara Indonesia harus patuh dengan konstitusi. Sehingga dia harus mengakui yang namanya ideologi dasar negara yakni Pancasila, tetapi bagi mereka yang tidak mau mengakui Pancasila bahkan ingin mengubahnya, tentu saja hal ini tidak bisa diberikan kesempatan untuk mencalonkan diri baik di eksekutif maupun legislatif.
Senada dengan Saan, Direktur Indonesia Public Institut (IPI), Karyono Wibowo menilai, penghapusan hak elektoral terhadap eks HTI dan FPI dalam RUU Pemilu tersebut dilandasi oleh keputusan hukum. Dua organisasi kemasyarakatan tersebut dinyatakan bertentangan dengan undang-undang. Ormas HTI secara sah dibubarkan oleh negara berdasarkan putusan pengadilan yang sudah inkrah.
Menurut Karyono, ormas HTI dibubarkan oleh pengadilan karena dinilai tidak menjalankan azas, ciri dan sifat ormas yang termaktub dalam undang-undang keormasan, yaitu tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. HTI dianggap terbukti mendakwahkan doktrin negara berbasis kekhilafahan kepada para pengikutnya.
Tidak hanya HTI, AD/ART FPI juga dinilai bermasalah karena tidak mencantumkan Pancasila sebagai azas organisasi. Meskipun FPI selalu mengklaim sebagai ormas Pancasilais. Namun tindakan dan perbuatannya dinilai sering tidak mencerminkan nilai-nilai pancasila sebagai mana sifat ormas yang diatur dalam UU 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Perppu 2 Tahun 2017 tentang perubahan atas UU 17 Tahun 2013 tentang Organisasi kemasyarakatan menjadi UU. Belum lagi dengan adanya dugaan akan adanya keterlibatan sejumlah anggota FPI yang mendukung terorisme.
Dengan demikian, RUU tentang perubahanatas Undang-undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu dan Undang-undang Nomor 10/2016 tentang Pilkada (RUU Pemilu) yang menghapus hak untuk dipilih bagi anggota HTI dan FPI bukan berarti diskriminasi, tetapi justru menunjukkan konsistensi negara dalam menjalankan perintah konstitusi.
Rekam jejak FPI juga masih sulit dilupakan. Masyarakat pun sudah banyak yang mengetahuinya bahwa, Ormas FPI telah dengan gamblang meresahkan masyarakat, tak terhitung sudah bukti tindakan intoleran FPI.
FPI telah mencatatkan sejarah sebagai ormas yang sering melakukan anarkis. Seperti pada aksi damai yang diselenggarakan oleh Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), FPI melancarkan aksinya dengan menyerang peserta aksi damai, tak sedikit peserta aksi yang luka, tak hanya kaum pria yang menjadi korban, para ibu – ibu yang membawa anaknya pun tak luput dari korban pemukulan.
Lalu bagaimana dengan Penghapusan Hak Politik RS?
Publik sudah faham bahwa RS adalah pendiri dan tokoh utama FPI. Kita juga ketahui telah ada larangan penggunaan simbol-simbol dan atribut FPI yang dinyatakan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) enam Instansi lembaga negara.
Pemerintah resmi membubarkan dan menetapkan (FPI) sebagai organisasi terlarang berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani enam menteri dan pimpinan lembaga dan mulai berlaku Rabu (30/12/2020).
SKB sebagai dasar pembubaran dan penetapan FPI sebagai organisasi terlarang, meliputi SKB bernomor 220-4780 tahun 2020, Nomor M.HH-14.HH.05.05 tahun 2020, Nomor 690 Tahun 2020, Nomor 264 Tahun 2020, Nomor KB/3/XII/2020, Nomor 320 Tahun 2020 Tentang larangan kegiatan, penggunaan simbol dan atribut serta penghentian kegiatan FPI.
Pertimbangan terkait pembubaran FPI antara yakni demi menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar bernegara yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam hal ini, pemerintah merujuk pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi Undang-Undang.
Jadi pencabutan atau penghapusan hak elektoral bagi kelompok yang menolak Pancasila, termasuk RS tidaklah berlebihan, karena secara konkrit seseorang yang tidak berpegang teguh pada pancasila merupakan orang yang tidak menyukai adanya demokrasi.
Jika partai terlarang seperti PKI dan seluruh underbow-nya dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan kehilangan hak politik untuk dipilih, maka negara juga harus berlaku adil. Termasuk untuk HTI dan RS dengan FPI nya. (Red).