BREAKING NEWS
latest
header-ad

468x60

header-ad

Skrinews - Krisis ekologis: nanti kita cerita apa ke anak cucu kelak?

Ridwan Meilana Pradiansyah
Ilmu Pemerintahan
Universitas Muhammadiyah Malang




Skrinews.com - Banjir, sudah bukan lagi perihal yang asing di dalam pikiran seluruh elemen masyarakat. Tidak perlu membahas tentang daerah yang sudah biasa banjir seperti Jakarta, Bekasi, Karawang, Pekalongan, Cirebon dan sekitarnya. Mari melihat saudara kita yang berada di Konawe Utara, Jayapura, Bengkulu, bahkan Samarinda sekalipun yang mana calon menjadi daerah tetangga calon Ibu Kota Negara juga terkena banjir. Implikasinya? Nyawa hilang, infrastruktur hancur, perekonomian terhambat, dan harta benda tiap keluarga jadi puing sampah, serta jadi sumbangsih untuk pertumbuhan sampah di negara ini. Bentuk kerugian yang dialami seluruh elemen masyarakat bukan? Yang menjadi anomali dalam paradigma melihat situasi saat ini adalah dimana para perancang kebijakan justru semangat merancang UU yang dalam implikasi jauhnya akan menimbulkan kerusakan lingkungan. Khususnya Omnibus Law, UU KPK, ataupun tentang negara mengintervensi ranjang tiap keluarga (RUU Ketahanan Keluarga). Memang dalam membuka lapangan pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi itu jelas, namun dalam konteks keberlangsungan lingkungan dalam jangka kedepan apakah baik? Apa yang akan kita wariskan untuk anak cucu kelak nanti? Meskipun masih jauh dalam mendapatkan jodoh saat ini.
Apakah pemerintah menganggap remeh peristiwa tersebut? Mari ditelusuri lagi dengan jauh. Ketika pemerintah masih dengan gegap semangatnya merancang dan mengetuk palu Omnibus Law, maka kerusakan lingkungan akan lebih parah daripada ini. Pada saat ini saja, krisis ekologis benar-benar dirasakan dengan salah satunya yaitu implikasinya banjir. Penebangan dan pembukaan lahan menyebabkan pengurangan oksigen dan pencadangan air semakin mengurang. Ini mata pelajaran IPA waktu Sekolah Dasar bukan? Pemerintah sepertinya menganggap pembangunan dengan mendirikan beton-beton yang gagah, bukan bagaimana menanam pohon dan sebagainya. Semua paham dan tau seharusnya bahwa kita bergantung terhadap alam. Apa yang kita butuhkan dari hal fundamental sampai tersier berasalkan dari alam. Sampai saat ini, sudah banyak kasus dari penolakan Tumpang Pitu salah satunya. Dengan aksi sekitar tujuh hari beberapa masyarakat Banyuwangi dengan solidaritas beberapa komunitas lingkungan menggelar aksi di gedung Gubernur Jatim. Namun setelah seminggu kemudian dari pernyataan Gubernur Jatim masih dipertimbangkan kembali dengan menunggu pernyataan selama sebulan. Salah keduanya yaitu dari daerah lereng Gunung Arjuna-Welirang yang dimana direncanakan untuk mendirikan PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Geothermal) singkatnya, energi panas bumi dengan mekanisme air yang dipompa atau pengeboran ke dalam bumi sekitar 1,5 kilometer atau sebab-sebab alami (hujan) dikumpulkan ke permukaan bumi dalam bentuk uap, yang akhirnya bisa digunakan untuk menggerakkan turbin-turbin untuk memproduksi listrik. Implikasi buruk salah satunya adalah terjadinya kekeringan di daerah sekitar termasuk daerah terkenal di Batu yaitu Pemandian Air Panas Cangar. Perlunya menganalisis secara komprehensif bersama komunitas atau organisasi dan masyarakat yang mana paham di bidangnya. Bukan masalah surplus listrik dan energi terbarukan serta sebagainya, namun kembali ke kehidupan secara fundamental. Apakah manusia lebih membutuhkan air daripada listrik? Minyak bumi sudah diekspoitasi, tambang emas batubara tak luput juga. Apakah air eksploitasi selanjutnya?
Perlunya pemerintah berfikir secara visioner ketika sudah membuat kebijakan tentang lingkungan. Tidak lucu ketika pembangunan sudah massif dilakukan, namun ketika ada bencana alam karena efek pembangunan tersebut langsung terhempas begitu saja. Sudah susah payah membangun, eh roboh begitu saja. Tidak sampai disitu, pada saat kemarau tiba. Kebakaran, kekeringan, kabut asap sebagainya yang akhirnya masyarakat juga yang terkena dampaknya. Tiga Undang-undang yang mengakomodir tentang lingkungan yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Panduan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga tidak bisa mengatasi tentang permasalahan lingkungan. Faktanya? kebarakaran hutan yang besar pada 2015 di sebagian daerah Sumatera dan Kalimantan dengan menghadiahkan masyarakat berupa udara yang memasuki indeks berbahaya. Dilansir dari Mongabay.co.id, akhirnya alam kembali marah dengan kebakaran hutan pada tahun 2019 sampai bulan September dengan total lahan yang terkena seluas 857.756 hektar dengan dampak satwa alam mati, kabut asap, dan tentunya kualitas oksigen menjadi buruk serta menghambat mobilisasi manusia dalam menjalani kehidupannya. Dalam konteks negara pasti dampak perekonomian. Nah ini yang masih anomali, sudah faham akan dampak-dampak buruk kerusakan lingkungan akan memperhambat pertumbuhan ekonomi, tapi UU yang mempermudah pembukaan lahan masih saja dirancang. Beda lagi kalau dalam mekanisme masih benar-benar melibatkan aktivis lingkungan akan berbeda lagi ceritanya.
Memang tidak bisa dipungkiri, Pasal 33 UUD 1945 membawa semangat mewujudkan kesejahteraan sosial dan khususnya pada ayat ke (4) yaitu menyatakan perekonomian nasional diselenggarakan dengan asas kekeluargaan dan prinsip berwawasan lingkungan. Dengan kata lain hutan dan lahan tidak hanya memiliki fungsi lingkungan hidup, namun juga memiliki fungsi ekonomi. Tapi dengan catatan bahwa dalam teknis untuk pendirian suatu benda tumpul dari beton dan teman-temannya jangan sampai tidak menganalisis dampaknya. Sehingga kita bisa memberikan alam yang baik ini untuk anak cucu. Tidak menyenangkan apabila bercerita pernah bertani bersama dengan nenek-kakek, namun lokasi sekitarnya telah menjadi suatu pemukiman dengan adanya dampak lingkungan buruk, bahkan melihatkan dari insta-story dengan menscroll era kita. Menjelaskan secara normatif bahwa alam kita kaya, namun kaya yang dimana? Tanah air juga yang sudah menjadi komodifikasi. Tanah Air Beta yang mana? Tanah dijual dan air juga kita harus beli. Tidak sekali sedih ketika terjadi bencana yang telah disiarkan di media nasional, dengan diiringi lagu nasional yaitu Kulihat Ibu Pertiwi.
Kembali ke fungsi normatif negara, pemerintah adalah mandhat dari rakyat untuk mengatur segala yang ada di negara ini. Sekali lagi supaya jelas, hanya mandhat dari rakyat. Dari hal tersebut, abstraksi cita-cita bersama harus dicapai oleh seluruh elemen masyarakat dengan mematuhi segala UUD terutama. Karena, adanya konstitusi sendiri adalah untuk memberikan batasan tentang apakah yang perlu dilakukan dengan yang tidak dilakukan. Elemen masyarakat yang terdampak tentang permasalahan lingkungan maupun korban daripada alih fungsi lahan sangat berharap dengan kembalinya fungsi normatif negara sebagai alat negara untuk mengatur hal-hal baik yang sesuai dengan UUD dan Pancasila. Terlepas berbagai konspirasi, dinamika, dan permasalahan para aktor politik di Indonesia yang demikian menjadi ditonton oleh masyarakat. Dengan bersama-sama mencapai kepentingan bersama dari pemerintah, masyarakat dan stakeholders. Maka pembangunan yang baik akan massif dilakukan tanpa mencederai sesuatu khususnya alam negeri ini. Masyarakat akan selalu percaya ketika datang ke TPS dan memilih untuk Indonesia yang lebih baik lagi, dengan demikian pemerintah juga sebaiknya mengadakan dialog deliberatif misalnya supaya mengerti antara kebenaran relatif dari pemerintah pun dari masyarakat.
« PREV
NEXT »